Kamis, 26 November 2009

Cacat dan Teraniaya

Di dalam kereta, pukul 19.00 malam. Saat itu, hujan rintik-rintik membasahi setiap tanah, setiap lantai, setiap atap yang berada di stasiun, juga orang-orang yang kebetulan tengah berjalan menuju suatu tempat tanpa terlindungi apa pun. Sepi, hening di dalam kereta yang parkir di salah satu jalur rel di stasiun itu. Kebetulan, jadwal pemberangkatan kereta tersebut masih kira-kira 75 menit lagi. Jadi, baru sedikit penumpang yang sudah masuk ke dalam kereta.

Kala itu, aku dan temanku hendak naik kereta yang berangkat pukul 20.00 yang belum tiba di stasiun tersebut. Karena tempat duduk yang disediakan di stasiun telah dipenuhi oleh orang-orang yang sama-sama menunggu kereta, atau mungkin juga pengantar, atau mungkin juga orang-orang yang hanya numpang duduk saja di sana, aku dan temanku memilih menunggu di dalam kereta yang parkir, yang masih tersedia tempat duduk kosong di dalamnya.

Detik-detik menunggu kereta, kami isi dengan membincangkan segala sesuatu yang penting dan yang tidak penting, yang berhubungan dengan kami dan yang tidak berhubungan, terkadang juga kami membisu satu sama lain, mengamati lingkungan sekitar kami dengan pola pikir yang berbeda, mengingat-ingat kejadian masa lalu (mungkin yang berkesan dan mungkin juga tidak). Lama sekali kami menunggu hingga lelah tubuh kami yang telah seharian melakukan berbagai aktivitas masing-masing.

Setelah lama menunggu …. Di tengah perbincangan, muncullah seorang anak kecil (perempuan) yang taklain adalah seorang peminta-minta. Kupikir, umurnya kira-kira 8 tahun. Masih sangat kecil. Miris ketika kulihat keadaan fisiknya. Dia hanya memakai kaos berlengan pendek dan celana dalam saja. Kedua kakinya buntung sampai di atas lutut, tangan sebelah kirinya pun buntung hingga di atas sikut. Tangan kanannya yang masih normal dipakainya untuk menadahkan tangan. Dia berjalan dengan cara beringsut dengan langkah yang cepat.

Anak kecil itu yang sering kulihat di kereta yang sedang kunaiki saat itu (aku memang sering menunggu di kereta itu). Aku ingat saat sehari sebelumnya, karena rasa iba melihat kondisinya, kuberikan selembar uang seribu rupiah. Setelah diberi uang, anak kecil itu mengucapkan terima kasih sambil berlalu. Tiba-tiba, di belakangnya ada pemuda normal dan terlihat sehat berusia kira-kira 20 tahun yang mengucapkan terima kasih pula sambil berlalu mengikuti anak kecil itu.

Ya Tuhan … mengapa laki-laki itu tega menjadikan anak kecil yang cacat itu sebagai alat untuk mencari uang ....?

Sedih sekali hatiku melihatnya. Anak kecil yang seharusnya menghabiskan masa kanak-kanaknya dengan bermain, belajar, dan dicurahi kasih sayang, justru dijadikan alat untuk mencari uang. Seseorang yang cacat yang seharusnya dirawat, justru dijadikan umpan untuk menyentuh hati orang lain agar sudi memberinya uang untuk dinikmati bersama.

Karena kejadian hari sebelumnya itu, pada hari itu, saat anak kecil itu datang lagi untuk meminta-minta, aku agak enggan memberikan uang karena aku tahu uang itu takhanya untuk dirinya, tetapi untuk disetorkan kepada orang-orang yang memperalatnya. Yang takkusukai bukan anak kecil itu, tapi orang-orang yang mempekerjakan anak kecil itu.

Akhirnya, saat itu aku takmemberinya uang. Cukup lama anak kecil itu menadahkan tangan, menungguku memberinya uang. Aku dan temanku pura-pura takmemperdulikannya walaupun hatiku sebenarnya benar-benar merasa kasihan terhadapnya. Kemudian, anak kecil itu berlalu.

Taklama kemudian, seorang perempuan dewasa dengan pakaian rapi, membawa tas jinjing, dengan dandanan yang rapi, melintas melewati kami berdua sambil melirik sinis terhadap kami dan dengan langkah tergesa-gesa sambil celingak-celinguk, seperti sedang mencari seseorang. Aku pikir, dia salah satu penumpang kereta tersebut yang sedang mencari nomor tempat duduk yang tertera pada karcisnya.

Setelah dia berlalu, tiba-tiba kudengar suara benda keras yang membentur kursi di belakang tempat duduk kami. Taklama dari situ, kudengar seorang anak berteriak kesakitan sambil menangis kencang. Lalu, kudengar seorang perempuan dewasa membentak-bentak anak kecil itu. Saat kutengok, ternyata yang membentak-bentak itu adalah perempuan dewasa yang berpakaian rapi yang belum lama melintasi kami dan anak kecil yang menangis ternyata pengemis itu.

“Kenapa? Dijedukin (dibenturkan)?” tanyaku pada temanku yang duduk di sisi yang lebih dekat ke lorong tempat melintas.
“Gak tau, iya sih, kayanya ….”
“Ya ampun … jahat banget, sih!” kataku sambil setengah berbisik pada temanku karena takut terdengar.

Kemudian, kami dengarkan pembicaraan perempuan tadi yang tengah membentak-bentak anak kecil peminta-minta tersebut.
“Ceuk urang oge, engke! Engke!” (Kata saya juga, nanti! Nanti!)
“Naon sih! Kitu wae!” (Apa sih, gitu aja!), kata anak kecil itu sambil menangis keras-keras.
“Ceuk urang ge naon, ulah ayeuna! Da penumpangna ge can nararaek! Engke di kereta anu itu (nama kereta terpaksa penulis sembunyikan). Ulah kereta ieu! Kereta ieu mah penumpangna setan kabeh! Ningali jelma cacat ge cicing we! Engke lamun geus tiguling karek eling!” (Kata saya juga apa, jangan sekarang! Penumpangnya juga belum pada naik! Nanti di kereta yang itu. Jangan kereta ini! Kereta ini penumpangnya setan semua! Lihat orang cacat juga diam saja! Nanti kalau sudah celaka baru sadar!)

Terpukul aku mendengarnya. Ya, dia menyindir kami berdua karena di gerbong itu baru ada kami berdua. Di satu sisi, aku dan temanku itu memang bisa dibilang tidak berperikemanusiaan karena tidak tergugah untuk memberi uang kepada anak kecil yang cacat itu. Namun, di sisi lain, aku juga takmau membiarkan orang-orang yang memperalat anak kecil itu berfoya-foya dengan uang hasil dari ingsutan anak kecil yang cacat itu. Aku takmau membiarkan orang-orang itu terus-menerus memperalat anak kecil itu.

Si perempuan dewasa itu terus-menerus membentak anak kecil itu dan terus-menerus menyindir kami berdua. Anak kecil itu terus-menerus menangis sambil berteriak-teriak dan memegangi kepalanya yang sepertinya bekas dibenturkan ke kursi. Aku dan temanku membisu, sibuk dengan pikiran masing-masing. Hatiku semakin tercabik-cabik mendengar rintihan anak kecil itu dan sindiran perempuan dewasa itu.

Untung saja, takberapa lama kemudian, kereta yang hendak kami tumpangi tiba, kami segera turun dari kereta tempat kami menunggu menuju kereta yang mengarah ke tempat tujuan kami. Kejadian itu membuat hatiku sakit, aku kasihan terhadap nasib anak kecil itu. Cacat dan diperalat. Namun, aku takmampu berbuat apa-apa. Hanya mampu bersedih atasnya.

Kejadian itu juga membuatku terus berpikir, bagaimana sikapku seharusnya?

Apakah aku seharusnya memberinya uang dan mendukung tindakan orang-orang di sekitarnya yang memperalatnya? Atau tidak memberinya uang dan membohongi hatiku yang sebenarnya kasihan melihat anak kecil itu beringsut-ingsut dan menadahkan tangan dan sangat mengharapkan pemberian dariku?

(Bandung, 14 November 2009)

Rabu, 11 November 2009

Euceu Bermata Ikan

Suatu hari, Euceu mengadu kepada beberapa temannya ….
“Hey, coba lihat, deh! Ini apa ya? Sakit lho …,” sambil menunjuk telapak kakinya yang sebelah kiri.
Empat orang temannya, Rini, Nae, Ria, dan Sofie mengerubuni kaki Euceu untuk melihat sesuatu yang ditunjuk Euceu.
“Kenapa?” tanya Ria
“Sakit, pegang geura, keras!”
Satu per satu dari mereka berempat memegang bagian telapak kaki Euceu yang ditunjukkannya.
“Oh iya ….” kata Rini.
“Iya ih, keras ….” kata Nae.
“Sakit gak?” kata Sofie.
“Iya,” jawab Euceu.
“Wah … jangan-jangan mata ikan!” kata Rini lagi.
“Oh iya … mendingan periksa deh!” kata Ria.
“Iya sih, banyak yang bilang gitu, tapi belum siap ah, soalnya katanya harus dioperasi kalo mata ikan mah ….”
“Oh iya ya …, tapi kan, daripada makin parah ….” kata Ria.
“Iya bener!” kata Nae, Sofie, dan Rini serempak.
“Iya sih, ya, ntar lah … nyiapin mental dulu.”

Beberapa minggu kemudian, Euceu merasa sudah siap mental untuk mengoperasi mata ikannya. Dia memutuskan untuk pergi ke klinik. Sesaat sebelum berangkat ….
“Mo dianter gak?” kata Ria yang kebetulan satu kosan dengan Euceu.
“Gak usah deh, bisa sendiri kok.”
“Bener nih, gak mau dianter, kalo gak mau, aku mau bimbingan.”
Euceu menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya, “Iya beneran, berani kok.”
“Ya udah, aku ke kampus dulu ya, dah ….” Ria berlalu menuju kampus.
“Ya ….”

Akhirnya, Euceu melangkahkan kaki dengan berat menuju klinik. Dengan berdebar-debar, dia memantapkan hatinya.
Sampai di klinik, tiba-tiba jantungnya berdebar-debar kuat. Euceu diserang perasaan takut luar biasa. Dia tidak berani masuk. Akhirnya, dia memutuskan untuk meminta Ria menemaninya.
“Halo, Ria, kamu di mana? Temenin aku periksa, dong!”
“Huh dasar, tadi ditawarin gak mau, sekarang aku lagi mau bimbingan, mumpung ada Ibunya.”
“Ya … gimana dong … aku gak berani sendiri, nih ….”
“Kamu di mana sekarang?”
“Di depan klinik.”
“Ya udah, mau gak, nunggu sejam?”
“Ya, gak apa-apa, abisnya bener-bener gak berani ….”
“Ya udah, aku bimbingan dulu ya ….”
“Ya ….”
Euceu duduk di teras depan klinik dengan jantung yang semakin berdetak kencang. Kemudian, datanglah seorang satpam menyapa Euceu.
“Mbak, mau periksa?”
“Iya.”
“Kok, gak masuk?”
“Lagi nunggu temen.”
“Yang sakitnya Mbak atau temennya?”
“Saya.”
“Langsung masuk aja Mbak, daftar dulu, ntar antri, lho.”
“Ntar aja ah, kalo teman saya dah dateng.”
“Kenapa?”
“Nyiapin mental dulu.”
“Oh, hehe … emangnya sakit apa?”
“Mata ikan, kan harus dioperasi.”
“Oh iya, keponakan saya juga mata ikan dioperasi.”
“Iya, makanya, harus nyiapin mental dulu.”
“Nunggunya di dalem aja Mbak, daripada di sini, panas.”
“Gak apa-apa, di sini aja.”
“Ya udah, saya tinggal dulu, ya.”
“Iya, Pak.”

Euceu kembali duduk termenung sendirian sambil berusaha meredakan ketakutannya. Detik-detik yang berlalu terasa begitu lambat. Dia taksabar menanti kedatangan Ria untuk menenangkan hatinya. Akhirnya, penantiannya terjawab, Ria datang dengan menaiki ojeg. Euceu sumringah melihat kedatangan temannya itu. Sang Pahlawan.
“Ri, maaf ya, jadi ngerepotin kamu ….”
“Iya, gak apa-apa, nomor antrian ke berapa?”
“Belum daftar.”
“Hah …!!! Ya ampun, Euceu … Euceu … bukannya daftar dulu, ntar kan, harus nunggu lagi …!”
“Hehe … abisnya kan, gak berani masuk ….”
“Dasar orang aneh, yuk daftar dulu.”

Setelah daftar, Euceu mendapat giliran kelima. Hatinya semakin berdebar-debar, keringat dingin mengucur dari pelipisnya. Saat tinggal menunggu satu orang lagi, tiba-tiba dia ingin mengurungkan niatnya.
“Ria, kita pulang aja, yuk.”
“Hah! Gila kamu ya, dah nanggung, dah jalanin aja, cuma bentar palingan ….”
“Abisnya belum siap ….”
“Mo kapan coba siapnya? Lagian kalo dinanti-nanti lagi, ntar tambah parah lho!”

Tiba-tiba, namanya dipanggil.
“Ria … takut ….”
“Udah, ayo!”
Ria menarik lengan Euceu masuk ke ruangan dokter.
“Sakit apa, Mbak?”
“Ini, mata ikan ….” Euceu menunjukkan telapak kakinya ke dokter sambil gemetar.
Dokter melihat dengan saksama.
“Sakit kalo jalan?”
“Iya ….”
Dokter memijit-mijit bagian kaki yang ditunjuk Euceu. Euceu meringis kesakitan.
“Oh … ini sih, bukan mata ikan, cuma kapalan … bentar ya, saya kasih salep aja, biar halus lagi kulitnya.”
“Oh … bukan mata ikan, ya?” Euceu ternganga takpercaya mendengarnya. Ria tersenyum-senyum menahan tawanya.
“Bukan, gak ada akarnya, kok. Ini resepnya, tiap malam kakinya direndam pake air hangat biar cepat halus lagi kulitnya, ya.”
“Oh, iya, makasih, Pak.”
Euceu dan Ria bergegas ke luar ruangan. Sampai di luar klinik, mereka tertawa-tawa.
“Dasar ih … aku kan, udah ketakutan banget, tau gitu, aku gak akan nunggu Ria datang ampe sejam ….”
“Hahaha ….”

(Untuk teman-teman yang terlibat dalam cerita ini, maaf ya … aku publikasikan kisahnya …. ☺)

Rabu, 04 November 2009

selusuh gerimis

Selusuh Gerimis
Senja ini berguguran
Seperti daun dan tetesan embun.
Menyelusuri jemari waktu, beringsut
Tinggalkan rayuan bulan
Seiring jejak berderit,
Kepompong tumbuh
Menari di tengah selusuh gerimis
Walau gontai, kupungut juga jingga di sajakmu


Sajak Air Mata
Akhirnya aku jatuh bersama sajak biru,
Menelusuri duri-duri di tubuhmu.
Tlah kutemukan dunia yang merenggutmu.
Bukan jejak waktu,
Bukan pula kokok ayam jantan.
Tapi itu…pelangi yang tersenyum genit ke arahmu.
Kucumbui juga air mata
Luka ini,
Adalah lecutan.
Terima kasih karena telah ingatkanku
Tentang harga sebuah kesetiaan,
Dan harapan.

Senin, 02 November 2009

Suatu hari, Ohar dan temannya bermain bersama. Tiba-tiba, ada seekor capung terbang di dekat mereka.
“Eh, ada capung, tangkap, tangkap!” teriak Ohar kepada temannya.
Mereka bergegas berusaha menangkap capung tersebut. Setelah satu capung tertangkap, mereka berusaha menangkap capung lain yang terbang di dekatnya juga hingga didapatkan tiga ekor capung.
Mereka memainkan capung itu. Tiba-tiba, Ohar berkata, “Eh … kalo digoreng, rasanya gimana ya?”
Temannya berkata, “Iya ya … cobain yuk!”
“Ayo … ayo …!”
Mereka pun bergegas menggoreng ketiga ekor capung itu. Sebelum digoreng, sayap capung itu dipatahkan oleh mereka terlebih dahulu. Setelah, kering, mereka memakannya.
“Huekk … gak enak!” Ohar bergegas memuntahkan seekor capung yang baru dimakannya karena merasa rasanya tidak enak.
“Ya ya …,” temannya pun bergegas memuntahkannya kembali.



Dari cerita di atas, dapat terlihat bahwa rasa penasaran seorang anak kecil sangatlah tinggi. Mereka yang baru sebentar mengenal alam semesta ini tentunya ingin mengetahui banyak hal yang menurut mereka baru. Untuk memuaskan rasa penasarannya itu, sering seorang anak melakukan hal-hal yang tidak terduga dan terkadang membahayakan atau melakukan hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan.

Hal yang dilakukan Ohar dan temannya itu tentulah hal yang tidak boleh dilakukan karena mereka telah membunuh binatang yang tidak membahayakan dengan cara yang kejam. Yaitu, dengan memotong sayap-sayapnya dan menggorengnya hidup-hidup. Jangan sampai hal seperti ini dilakukan oleh anak-anak Anda.

Dalam mengantisipasi hal itu, tugas kitalah sebagai orang dewasa (terutama keluarganya) untuk membimbingnya dalam proses pengenalan alam semesta ini. Mengajarkan kepada mereka hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Membimbing mereka agar mencintai alam semesta dan segala isinya. Menumbuhkan rasa kasih sayang dalam diri mereka terhadap sesama manusia dan makhluk lainnya (pepohonan dan binatang). Selain itu, jangan lupa juga bahwa kita perlu memberitahu mereka hal-hal yang dapat membahayakan dirinya dan orang lain.

Jangan lupa pula bahwa lingkungan sangat bepengaruh terhadap perkembangan kejiwaan anak. Ciptakanlah lingkungan keluarga yang kondusif, penuh kasih sayang, kedamaian, dan lakukanlah kebiasaan-kebiasaan baik karena anak-anak cenderung mengikuti apa yang dilihatnya dari perilaku orang-orang dewasa di rumah.

Lingkungan teman-temannya pun wajib dipantau. Kita harus memastikan bahwa hal-hal yang dilakukan oleh anak-anak dengan temannya adalah hal-hal yang berpengaruh baik terhadap kejiwaannya. Sebisa mungkin, jangan biarkan anak-anak kita bermain tanpa pantauan orang dewasa (yang mengerti bagaimana cara mendidik anak).

Jika kita sudah berusaha sebaik mungkin, semoga tujuan kita untuk menciptakan generasi yang berkualitas dapat tercapai.