Di dalam kereta, pukul 19.00 malam. Saat itu, hujan rintik-rintik membasahi setiap tanah, setiap lantai, setiap atap yang berada di stasiun, juga orang-orang yang kebetulan tengah berjalan menuju suatu tempat tanpa terlindungi apa pun. Sepi, hening di dalam kereta yang parkir di salah satu jalur rel di stasiun itu. Kebetulan, jadwal pemberangkatan kereta tersebut masih kira-kira 75 menit lagi. Jadi, baru sedikit penumpang yang sudah masuk ke dalam kereta.
Kala itu, aku dan temanku hendak naik kereta yang berangkat pukul 20.00 yang belum tiba di stasiun tersebut. Karena tempat duduk yang disediakan di stasiun telah dipenuhi oleh orang-orang yang sama-sama menunggu kereta, atau mungkin juga pengantar, atau mungkin juga orang-orang yang hanya numpang duduk saja di sana, aku dan temanku memilih menunggu di dalam kereta yang parkir, yang masih tersedia tempat duduk kosong di dalamnya.
Detik-detik menunggu kereta, kami isi dengan membincangkan segala sesuatu yang penting dan yang tidak penting, yang berhubungan dengan kami dan yang tidak berhubungan, terkadang juga kami membisu satu sama lain, mengamati lingkungan sekitar kami dengan pola pikir yang berbeda, mengingat-ingat kejadian masa lalu (mungkin yang berkesan dan mungkin juga tidak). Lama sekali kami menunggu hingga lelah tubuh kami yang telah seharian melakukan berbagai aktivitas masing-masing.
Setelah lama menunggu …. Di tengah perbincangan, muncullah seorang anak kecil (perempuan) yang taklain adalah seorang peminta-minta. Kupikir, umurnya kira-kira 8 tahun. Masih sangat kecil. Miris ketika kulihat keadaan fisiknya. Dia hanya memakai kaos berlengan pendek dan celana dalam saja. Kedua kakinya buntung sampai di atas lutut, tangan sebelah kirinya pun buntung hingga di atas sikut. Tangan kanannya yang masih normal dipakainya untuk menadahkan tangan. Dia berjalan dengan cara beringsut dengan langkah yang cepat.
Anak kecil itu yang sering kulihat di kereta yang sedang kunaiki saat itu (aku memang sering menunggu di kereta itu). Aku ingat saat sehari sebelumnya, karena rasa iba melihat kondisinya, kuberikan selembar uang seribu rupiah. Setelah diberi uang, anak kecil itu mengucapkan terima kasih sambil berlalu. Tiba-tiba, di belakangnya ada pemuda normal dan terlihat sehat berusia kira-kira 20 tahun yang mengucapkan terima kasih pula sambil berlalu mengikuti anak kecil itu.
Ya Tuhan … mengapa laki-laki itu tega menjadikan anak kecil yang cacat itu sebagai alat untuk mencari uang ....?
Sedih sekali hatiku melihatnya. Anak kecil yang seharusnya menghabiskan masa kanak-kanaknya dengan bermain, belajar, dan dicurahi kasih sayang, justru dijadikan alat untuk mencari uang. Seseorang yang cacat yang seharusnya dirawat, justru dijadikan umpan untuk menyentuh hati orang lain agar sudi memberinya uang untuk dinikmati bersama.
Karena kejadian hari sebelumnya itu, pada hari itu, saat anak kecil itu datang lagi untuk meminta-minta, aku agak enggan memberikan uang karena aku tahu uang itu takhanya untuk dirinya, tetapi untuk disetorkan kepada orang-orang yang memperalatnya. Yang takkusukai bukan anak kecil itu, tapi orang-orang yang mempekerjakan anak kecil itu.
Akhirnya, saat itu aku takmemberinya uang. Cukup lama anak kecil itu menadahkan tangan, menungguku memberinya uang. Aku dan temanku pura-pura takmemperdulikannya walaupun hatiku sebenarnya benar-benar merasa kasihan terhadapnya. Kemudian, anak kecil itu berlalu.
Taklama kemudian, seorang perempuan dewasa dengan pakaian rapi, membawa tas jinjing, dengan dandanan yang rapi, melintas melewati kami berdua sambil melirik sinis terhadap kami dan dengan langkah tergesa-gesa sambil celingak-celinguk, seperti sedang mencari seseorang. Aku pikir, dia salah satu penumpang kereta tersebut yang sedang mencari nomor tempat duduk yang tertera pada karcisnya.
Setelah dia berlalu, tiba-tiba kudengar suara benda keras yang membentur kursi di belakang tempat duduk kami. Taklama dari situ, kudengar seorang anak berteriak kesakitan sambil menangis kencang. Lalu, kudengar seorang perempuan dewasa membentak-bentak anak kecil itu. Saat kutengok, ternyata yang membentak-bentak itu adalah perempuan dewasa yang berpakaian rapi yang belum lama melintasi kami dan anak kecil yang menangis ternyata pengemis itu.
“Kenapa? Dijedukin (dibenturkan)?” tanyaku pada temanku yang duduk di sisi yang lebih dekat ke lorong tempat melintas.
“Gak tau, iya sih, kayanya ….”
“Ya ampun … jahat banget, sih!” kataku sambil setengah berbisik pada temanku karena takut terdengar.
Kemudian, kami dengarkan pembicaraan perempuan tadi yang tengah membentak-bentak anak kecil peminta-minta tersebut.
“Ceuk urang oge, engke! Engke!” (Kata saya juga, nanti! Nanti!)
“Naon sih! Kitu wae!” (Apa sih, gitu aja!), kata anak kecil itu sambil menangis keras-keras.
“Ceuk urang ge naon, ulah ayeuna! Da penumpangna ge can nararaek! Engke di kereta anu itu (nama kereta terpaksa penulis sembunyikan). Ulah kereta ieu! Kereta ieu mah penumpangna setan kabeh! Ningali jelma cacat ge cicing we! Engke lamun geus tiguling karek eling!” (Kata saya juga apa, jangan sekarang! Penumpangnya juga belum pada naik! Nanti di kereta yang itu. Jangan kereta ini! Kereta ini penumpangnya setan semua! Lihat orang cacat juga diam saja! Nanti kalau sudah celaka baru sadar!)
Terpukul aku mendengarnya. Ya, dia menyindir kami berdua karena di gerbong itu baru ada kami berdua. Di satu sisi, aku dan temanku itu memang bisa dibilang tidak berperikemanusiaan karena tidak tergugah untuk memberi uang kepada anak kecil yang cacat itu. Namun, di sisi lain, aku juga takmau membiarkan orang-orang yang memperalat anak kecil itu berfoya-foya dengan uang hasil dari ingsutan anak kecil yang cacat itu. Aku takmau membiarkan orang-orang itu terus-menerus memperalat anak kecil itu.
Si perempuan dewasa itu terus-menerus membentak anak kecil itu dan terus-menerus menyindir kami berdua. Anak kecil itu terus-menerus menangis sambil berteriak-teriak dan memegangi kepalanya yang sepertinya bekas dibenturkan ke kursi. Aku dan temanku membisu, sibuk dengan pikiran masing-masing. Hatiku semakin tercabik-cabik mendengar rintihan anak kecil itu dan sindiran perempuan dewasa itu.
Untung saja, takberapa lama kemudian, kereta yang hendak kami tumpangi tiba, kami segera turun dari kereta tempat kami menunggu menuju kereta yang mengarah ke tempat tujuan kami. Kejadian itu membuat hatiku sakit, aku kasihan terhadap nasib anak kecil itu. Cacat dan diperalat. Namun, aku takmampu berbuat apa-apa. Hanya mampu bersedih atasnya.
Kejadian itu juga membuatku terus berpikir, bagaimana sikapku seharusnya?
Apakah aku seharusnya memberinya uang dan mendukung tindakan orang-orang di sekitarnya yang memperalatnya? Atau tidak memberinya uang dan membohongi hatiku yang sebenarnya kasihan melihat anak kecil itu beringsut-ingsut dan menadahkan tangan dan sangat mengharapkan pemberian dariku?
(Bandung, 14 November 2009)
Kamis, 26 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar