Suatu hari, Euceu mengadu kepada beberapa temannya ….
“Hey, coba lihat, deh! Ini apa ya? Sakit lho …,” sambil menunjuk telapak kakinya yang sebelah kiri.
Empat orang temannya, Rini, Nae, Ria, dan Sofie mengerubuni kaki Euceu untuk melihat sesuatu yang ditunjuk Euceu.
“Kenapa?” tanya Ria
“Sakit, pegang geura, keras!”
Satu per satu dari mereka berempat memegang bagian telapak kaki Euceu yang ditunjukkannya.
“Oh iya ….” kata Rini.
“Iya ih, keras ….” kata Nae.
“Sakit gak?” kata Sofie.
“Iya,” jawab Euceu.
“Wah … jangan-jangan mata ikan!” kata Rini lagi.
“Oh iya … mendingan periksa deh!” kata Ria.
“Iya sih, banyak yang bilang gitu, tapi belum siap ah, soalnya katanya harus dioperasi kalo mata ikan mah ….”
“Oh iya ya …, tapi kan, daripada makin parah ….” kata Ria.
“Iya bener!” kata Nae, Sofie, dan Rini serempak.
“Iya sih, ya, ntar lah … nyiapin mental dulu.”
Beberapa minggu kemudian, Euceu merasa sudah siap mental untuk mengoperasi mata ikannya. Dia memutuskan untuk pergi ke klinik. Sesaat sebelum berangkat ….
“Mo dianter gak?” kata Ria yang kebetulan satu kosan dengan Euceu.
“Gak usah deh, bisa sendiri kok.”
“Bener nih, gak mau dianter, kalo gak mau, aku mau bimbingan.”
Euceu menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya, “Iya beneran, berani kok.”
“Ya udah, aku ke kampus dulu ya, dah ….” Ria berlalu menuju kampus.
“Ya ….”
Akhirnya, Euceu melangkahkan kaki dengan berat menuju klinik. Dengan berdebar-debar, dia memantapkan hatinya.
Sampai di klinik, tiba-tiba jantungnya berdebar-debar kuat. Euceu diserang perasaan takut luar biasa. Dia tidak berani masuk. Akhirnya, dia memutuskan untuk meminta Ria menemaninya.
“Halo, Ria, kamu di mana? Temenin aku periksa, dong!”
“Huh dasar, tadi ditawarin gak mau, sekarang aku lagi mau bimbingan, mumpung ada Ibunya.”
“Ya … gimana dong … aku gak berani sendiri, nih ….”
“Kamu di mana sekarang?”
“Di depan klinik.”
“Ya udah, mau gak, nunggu sejam?”
“Ya, gak apa-apa, abisnya bener-bener gak berani ….”
“Ya udah, aku bimbingan dulu ya ….”
“Ya ….”
Euceu duduk di teras depan klinik dengan jantung yang semakin berdetak kencang. Kemudian, datanglah seorang satpam menyapa Euceu.
“Mbak, mau periksa?”
“Iya.”
“Kok, gak masuk?”
“Lagi nunggu temen.”
“Yang sakitnya Mbak atau temennya?”
“Saya.”
“Langsung masuk aja Mbak, daftar dulu, ntar antri, lho.”
“Ntar aja ah, kalo teman saya dah dateng.”
“Kenapa?”
“Nyiapin mental dulu.”
“Oh, hehe … emangnya sakit apa?”
“Mata ikan, kan harus dioperasi.”
“Oh iya, keponakan saya juga mata ikan dioperasi.”
“Iya, makanya, harus nyiapin mental dulu.”
“Nunggunya di dalem aja Mbak, daripada di sini, panas.”
“Gak apa-apa, di sini aja.”
“Ya udah, saya tinggal dulu, ya.”
“Iya, Pak.”
Euceu kembali duduk termenung sendirian sambil berusaha meredakan ketakutannya. Detik-detik yang berlalu terasa begitu lambat. Dia taksabar menanti kedatangan Ria untuk menenangkan hatinya. Akhirnya, penantiannya terjawab, Ria datang dengan menaiki ojeg. Euceu sumringah melihat kedatangan temannya itu. Sang Pahlawan.
“Ri, maaf ya, jadi ngerepotin kamu ….”
“Iya, gak apa-apa, nomor antrian ke berapa?”
“Belum daftar.”
“Hah …!!! Ya ampun, Euceu … Euceu … bukannya daftar dulu, ntar kan, harus nunggu lagi …!”
“Hehe … abisnya kan, gak berani masuk ….”
“Dasar orang aneh, yuk daftar dulu.”
Setelah daftar, Euceu mendapat giliran kelima. Hatinya semakin berdebar-debar, keringat dingin mengucur dari pelipisnya. Saat tinggal menunggu satu orang lagi, tiba-tiba dia ingin mengurungkan niatnya.
“Ria, kita pulang aja, yuk.”
“Hah! Gila kamu ya, dah nanggung, dah jalanin aja, cuma bentar palingan ….”
“Abisnya belum siap ….”
“Mo kapan coba siapnya? Lagian kalo dinanti-nanti lagi, ntar tambah parah lho!”
Tiba-tiba, namanya dipanggil.
“Ria … takut ….”
“Udah, ayo!”
Ria menarik lengan Euceu masuk ke ruangan dokter.
“Sakit apa, Mbak?”
“Ini, mata ikan ….” Euceu menunjukkan telapak kakinya ke dokter sambil gemetar.
Dokter melihat dengan saksama.
“Sakit kalo jalan?”
“Iya ….”
Dokter memijit-mijit bagian kaki yang ditunjuk Euceu. Euceu meringis kesakitan.
“Oh … ini sih, bukan mata ikan, cuma kapalan … bentar ya, saya kasih salep aja, biar halus lagi kulitnya.”
“Oh … bukan mata ikan, ya?” Euceu ternganga takpercaya mendengarnya. Ria tersenyum-senyum menahan tawanya.
“Bukan, gak ada akarnya, kok. Ini resepnya, tiap malam kakinya direndam pake air hangat biar cepat halus lagi kulitnya, ya.”
“Oh, iya, makasih, Pak.”
Euceu dan Ria bergegas ke luar ruangan. Sampai di luar klinik, mereka tertawa-tawa.
“Dasar ih … aku kan, udah ketakutan banget, tau gitu, aku gak akan nunggu Ria datang ampe sejam ….”
“Hahaha ….”
(Untuk teman-teman yang terlibat dalam cerita ini, maaf ya … aku publikasikan kisahnya …. ☺)
Rabu, 11 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar